Sejak awal COVID-19 muncul hingga saat ini, banyak hal baru yang ditemukan dan menimbulkan berbagai reaksi. Penemuan dan informasi baru yang jarang atau bahkan tidak terjadi pada penyakit lainnya membuat para dokter dan peneliti terus mencari jawaban dan solusi untuk mengatasinya. Salah satu di antaranya adalah yang disebut dengan terminologi “happy hypoxia”, merupakan topik yang ramai dibicarakan. Sebagai suatu pengetahuan baru, ada baiknya kita memahami istilah ini. Akan lebih baik lagi jika kemudian kita mengetahui sikap dan antisipasi yang tepat, bukan malah salah sasaran sehingga menimbulkan kepanikan dan tidak banyak membantu mengatasi masalah.
Hipoksia adalah suatu kondisi ketika tubuh kekurangan oksigen. Pada umumnya kondisi ini akan disertai dengan salah satu gejala utamanya, yaitu sesak napas. Seseorang yang mengalami sesak napas biasanya akan menyadari dan merasa tidak dapat bernapas dengan leluasa, tidak nyaman dan menjadi gelisah. Kondisi inilah yang tidak terjadi pada sebagian penderita COVID-19. Banyak laporan kasus bahkan jurnal yang memperlihatkan perjalanan penyakit yang tidak biasa, di mana pasien yang dirawat terlihat baik-baik saja, padahal tubuh mereka telah mengalami kekurangan oksigen yang cukup berat. Masalahnya adalah, tidak seperti gejala sesak napas yang tidak muncul, tidak demikian halnya dengan akibat yang ditimbulkannya. Ketika kadar oksigen telah cukup rendah, tubuh tidak akan dapat menyembunyikan berbagai efek kekurangan oksigen tersebut, seperti lemas, bingung, sulit berkonsentrasi, kenaikan denyut jantung hingga penurunan kesadaran. Ini juga menandakan bahwa paru-parunya telah mengalami penurunan fungsi dan penyakitnya sedang berjalan ke arah yang lebih serius. Jika terus berlanjut dapat mengakibatkan kerusakan berbagai organ dan jaringan seperti ginjal, jantung dan otak.
Dalam kondisi normal, ada kerja sama antara otak dan organ pernapasan dalam mengatur kebutuhan oksigen. Saat terjadi hipoksia, otak akan menerima pesan dari saraf tertentu dan selanjutnya akan ditindaklanjuti dengan memberikan sinyal “dahaga udara” kepada komponen pernapasan untuk melakukan proses pengambilan udara lebih banyak dan lebih cepat. Pada sebagian penderita COVID-19 terjadi kerusakan saraf tersebut yang mengakibatkan proses pengiriman pesan terganggu. Jadi perlu di garis bawahi di sini, yang menghilang adalah mekanisme pengiriman pesan, namun proses defisit oksigen dengan segala dampaknya terus berjalan.
Dengan mengetahui prinsip terjadinya happy hypoxia ini, lebih membantu kita untuk membayangkan, apa prioritas utama yang perlu kita antisipasi, dan mana yang dapat diposisikan di belakang. Mari kita telusuri dan simpulkan bersama:
Kesimpulannya happy hypoxia sangat kecil kemungkinannya terjadi tanpa ada gejala awal sama sekali. Jangan mengacuhkan gejala awal tersebut seperti demam, kehilangan daya penciuman, sakit tenggorokan, nyeri otot atau rasa lelah yang tidak biasa. Terutama jika Anda merasa mempunyai risiko terpapar COVID-19 atau mempunyai riwayat kontak. Jika Anda dan seisi rumah Anda mengikuti protokol kesehatan dengan pola hidup sehat, disiplin bermasker, rajin mencuci tangan serta menjaga jarak sosial, seharusnya happy hypoxia bukanlah sesuatu yang perlu Anda risaukan.
Pada dasarnya, batuk adalah sebuah bentuk sistem pertahanan saat tubuh medeteksi adanya benda asing yang… Read More
Batuk adalah mekanisme tubuh untuk mengeluarkan iritan atau benda asing yang ada di saluran… Read More
Sinusitis adalah infeksi yang terjadi pada sinus. Sinus adalah rongga yang terdapat di sekitar… Read More
Bagi sebagian orang minum air dingin adalah keharusan. Bahkan ketika terserang flu, rasanya berat… Read More
Ketika terserang flu di awal musim penghujan, sering terdengar komentar menyetujui bahwa itu adalah… Read More