Sejarah Penggunaan Masker Untuk Kesehatan
Sejak dunia dilanda pandemi COVID-19, penggunaan masker untuk alasan kesehatan menjadi sangat umum. Bahkan di beberapa negara telah menjadi kewajiban, dan pelanggarnya akan dikenai sanksi tertentu. Terlepas dari apapun jenisnya, baik masker medis ataupun non-medis, diyakini mampu mengurangi risiko infeksi virus, dalam hal ini virus SARS CoV2 penyebab COVID-19. Uniknya penggunaan masker justru lebih luas terjadi di negara-negara Asia, terutama Asia Timur seperti Jepang dan Hongkong. Sebuah perbandingan misalnya, antara kota yang sama-sama metropolitan seperti New York dan Hongkong, angka COVID-19 ternyata jauh lebih tinggi terjadi di US, termasuk New York itu sendiri, menambah keyakinan akan keberhasilan masker menekan penyebaran penyakit tersebut.
Sebelum dikenalnya teori kuman, orang tidak mengetahui adanya bakteri dalam udara. Pada masa itu penggunaan masker hanya sebatas pelengkap fesyen atau lebih tepat disebut sebagai cadar atau mengurangi gangguan debu dan bau. Pada abad 13 para pelayan raja di Cina telah menggunakan penutup wajah. Untuk kenyamanan raja, mereka menggunakan selapis kain penutup mulut ketika sedang melayani raja, seperti saat menghidangkan makanan atau minuman. Demikian juga yang terjadi pada para tenaga medis, sejenis masker dikenakan untuk mengurangi bau busuk yang timbul di lingkungan rumah sakit pada masa itu, di mana rumah sakit belum menerapkan standar kebersihan seperti saat ini. Rumah sakit sebagai tempat berkumpulnya pasien dengan berbagai penyakit dan kondisi, cenderung menjadi tempat yang lebih kotor dan berbau tidak enak dibandingkan tempat lainnya. Baru pada akhir abad 19 terdapat catatan sejarah penggunaan masker untuk keperluan medis yang sebenarnya, yaitu dengan tujuan mengurangi risiko infeksi. Pada awal penggunaannya, masker medis hanya terbuat dari selapis kain kasa. Karena belum berkembangnya pengetahuan maupun tehnik pembuatan masker, salah satu model masker medis pada masa itu dikombinasikan dengan bahan logam yang membuatnya tidak nyaman dipakai serta sulit untuk disterilkan. Bayangkan saja, benda serupa bingkai kacamata logam, dilengkapi dengan kait-kait kecil mirip kail untuk menggantung kain kasa. Dengan perangkat seperti itu tidak heran, banyak tenaga medis yang menolak menggunakannya. Beberapa catatan sejarah memperlihatkan tulisan dari dokter-dokter yang merasa terganggu oleh masker.
Penolakan akan masker saat itu tidak hanya karena alasan ketidaknyamanan, tetapi juga karena alasan lain seperti: dicurigai merupakan propaganda komersil produsen masker, tidak terbukti mempunyai manfaat untuk kesehatan atau dianggap sebagai penyebab menurunnya angka perdagangan. Bahkan ketika terjadi wabah flu Spanyol pada tahun 1918, memakai masker dianggap oleh sebagian orang telah menciptakan teror dan rasa tidak aman.
Ini rasanya tidak aneh, karena di masa modern seperti sekarang pun masih cukup banyak orang yang belum menganggap masker sebagai sesuatu yang penting, bahkan pada masa krusial seperti sekarang. Ketika belum ada antivirus spesifik atau vaksin yang dapat dimanfaatkan secara luas, mencegah adalah satu-satunya cara efektif yang dapat dilakukan sementara ini. Ketersediaan masker telah terjamin, setidaknya masker kain yang dapat dicuci dan dipakai ulang dapat diperoleh dengan mudah dan harganya terjangkau. Seharusnya tidak ada alasan bagi siapapun untuk tidak mengenakan masker. Jika untuk kesehatan dan keselamatan diri sendiri, seseorang harus “dipaksa” untuk menggunakan masker, rasanya agak tidak masuk akal. Tapi memang inilah kenyataannya. Tidak semudah itu untuk merubah kebiasaan dan prinsip masyarakat pada umumnya. Namun di pihak lain, demi cita-cita dunia bebas dari COVID-19, tidak boleh ada kata menyerah. Edukasi, persuasi dan berbagai cara harus terus gencar dilakukan demi kesadaran lebih banyak orang untuk mau melindungi diri dan orang lain dengan masker. Pesan penting dari para ahli: mengenakan masker dengan benar sebenarnya tidak kalah dengan perlindungan yang diberikan oleh vaksin. Yuk, pakai masker!