Klik Untuk Menilai Artikel ini
[Total: Rata-rata: ]

Peran Komunitas Dalam Memerangi Hiv-aids: Antagonis Atau Protagonis?

 

Tema peringatan Hari AIDS Dunia 2019 adalah Communities Make the Difference (Komunitas Membuat Perbedaan). Ada pesan yang jelas melalui tema ini, di mana masyarakat secara umum, atau dalam bentuk komunitas tertentu diharapkan dapat mengambil peran yang dapat memberikan perubahan. Namun perlu diperjelas dahulu, ke mana arah yang ingin dituju. Dengan demikian baru dapat dipahami peran seperti apa yang dapat diambil.

Menurut UNAIDS, yang merupakan organisasi khusus AIDS dunia, target utama penanggulangan AIDS adalah untuk mengakhiri ancaman AIDS terhadap kesehatan masyarakat dunia dengan batas waktu tahun 2030 mendatang. Sejak ditemukannya kasus AIDS pertama lebih dari 35 tahun yang lalu, 78 juta orang telah terinfeksi HIV di seluruh dunia, dan 35 juta di antaranya telah meninggal dunia akibat berbagai penyakit yang berhubungan dengan AIDS. Beberapa kesulitan dalam upaya penanganan HIV-AIDS antara lain:

  1. Pemahaman dan kesadaran akan bahaya AIDS masih rendah. Terbukti dengan tindakan proteksi diri dan deteksi dini yang masih sangat minim. Peranan komunitas edukasi dapat memperbaiki kondisi ini.
  2. Banyak komunitas yang rentan terhadap infeksi HIV, seperti pekerja seks, pengguna narkoba, homoseksual laki-laki, buruh migran dan remaja yang mulai aktif seksual dengan pengetahuan minim. Di negara maju, komunitas seperti ini telah memiliki penggiat edukasi untuk memproteksi kelompok masing-masing. Tanpa bermaksud memberikan opini terhadap komunitas manapun, menyadari bahwa risiko AIDS memang nyata, maka keberadaan penggiat edukasi dan pendampingan pada tiap komunitas tersebut sangatlah penting.
  3. Tidak hanya mencegah, ketersediaan obat dan kepastian pengobatan untuk mereka yang telah positif HIV sangat penting untuk mencegah mereka masuk pada tahap akhir, yaitu AIDS. Selain itu, tindakan ini juga sangat penting dalam upaya mencegah infektivitas. Dalam hal menyediakan obat, merupakan tanggung jawab pemerintah melalui departemen kesehatan dan jaringannya. Komunitas masyarakat dapat menjadi pengawas dan pelapor ketersediaannya di lapangan. Namun justru di sinilah komunitas dapat mengambil peranan lebih aktif, di mana secara aktif dapat membantu mendorong dan mengakomodir penderita untuk mengakses pengobatan tanpa putus. Hadirnya aktivis HIV-AIDS secara individu maupun kelompok akan sangat membantu upaya ini.
Baca Artikel Lainnya :   Girls Yuk Lebih Waspada Terhadap Infeksi Saluran Kemih

Indonesia menghadapi banyak tantangan dalam menghadapi HIV-AIDS. Salah satunya adalah untuk merubah peranan komunitas, dari yang bersikap antagonis menjadi protagonis. Dari sikap antipati menjadi empati. Karena sesungguhnya tidak ada orang yang ingin terinfeksi HIV. Berapa banyak wanita yang terinfeksi dari suaminya, lalu menularkannya kepada janin yang dikandungnya karena ketidaktahuan. Setelah melihat pentingnya peranan komunitas, kita menyadari betapa masyarakat justru masih menjadi penghalang dengan adanya berbagai stigma yang menyebabkan penderita justru menjadi terkucil dan tidak mendapatkan akses kesehatan yang seharusnya.

Tidak sedikit penderita yang mengalami putus obat karena malu ketahuan mengidap HIV, atau diperlakukan secara diskriminatif sebagai ODHA (orang dengan HIV AIDS). Perlakuan diskriminatif dapat dialami di sekolah, lingkungan kerja bahkan keluarga, karena takut tertular. Padahal HIV hanya menular melalui hubungan seksual dan darah yang tidak dapat terjadi dengan kontak biasa seperti bersentuhan atau melalui peralatan makan.

Seorang wanita yang tinggal di benua Afrika, merupakan korban kekerasan gender yang mengakibatkan dia terinfeksi virus HIV di masa remaja. Dapat melalui masa sulit dan berhasil menjadi penyitas HIV, bersuamikan seorang yang negatif HIV, juga memiliki 2 anak yang bebas HIV. Pengalaman dan keberuntungan yang dialaminya menjadinyanya seorang aktivis HIV-AIDS sukarela yang telah memberikan sumbangsih sangat berarti bagi para wanita di sekitarnya.

Demikian juga seorang pemuda HIV positif di sebuah negara konflik, menjadi sukarelawan bagi komunitas anak muda yang bernasib sama dengannya. Dia mendedikasikan hidupnya untuk menjadi kurir obat bagi kelompoknya. Melintasi daerah berbahaya penuh risiko akibat perang yang berkepanjangan. Menjamin komunitasnya tetap mendapatkan pengobatan yang seharusnya.

Munculnya komunitas dengan semangat seperti inilah yang sangat diharapkan. Mengulurkan tangan, mendampingi tanpa menghakimi. Karena HIV-AIDS ada di sekitar kita, saatnya untuk kita saling menguatkan dan berperang bersama, demi diri kita dan anak-anak kita.

Baca Artikel Lainnya :   Mengapa Memilih Sakit Dari Pada Berobat

           

 

Tinggalkan Komentar Anda